Selasa, 09 Maret 2010

Manajemen Wanita Karir VS Ibu Rumah Tangga

Zaman dulu para wanita diharapkan menikah dengan pria yang sudah bekerja. Era 1960 dan 1970’an, penting bagi orang tua yang akan menikahkan anak perempuannya mengetahui pekerjaan calon mantu laki-lakinya. Pertanyaan pertama dari mereka “Calon suami kerja dimana ? ”. Sementara bagi orang tua pria, yang penting dari calon isteri anaknya adalah berasal dari keluarga baik-baik, siap menjadi Ibu, pintar mengurus suami dan rumah, merawat dan membesarkan anak. Kemudian muncul slogan “emansipasi” dan “persamaan hak asasi”, wanita tidak lagi sekedar menjadi Ibu Rumah Tangga, tapi juga wanita karier. Di era 1980 dan 1990’an, mempunyai anak perempuan yang bekerja menjadi impian dan cita-cita bagi para orang tua. Para orang tua berlomba memberikan dan mendorong putrinya mempunyai pendidikan yang sebaik-baiknya. Mempunyai anak perempuan yang bekerja menjadi bergengsi dan mempunyai citra serta kelas tersendiri.



Saat ini wanita yang bekerja “seakan-akan” menjadi ukuran status dihadapan keluarga calon suami. Semua sudah berubah ! Seorang pria yang akan memperkenalkan calon isterinya harus siap dengan pertanyaan, “ Calon isterinya kerja dimana ?”. Mungkin orang tua pria akan berkernyit atau terdiam (berpikir) jika diberitahu bahwa calon isteri anaknya tidak bekerja, walaupun mempunyai pendidikan dan keluarga yang baik. Bahkan ada yang lebih ekstrem, menjadikan jenis pekerjaan calon isteri bagi anak prianya sebagai syarat untuk menaikkan gengsi keluarga. Jaman sudah berubah ! Syarat mempunyai pekerjaan tidak lagi melekat bagi para calon suami. Para wanita pun berlomba bekerja dan ditanamkan “harus” bekerja. Wanita bekerja menjadi syarat untuk “dihargai” dan “dipandang”, tidak saja untuk dirinya sendiri tapi demi kebesaran, kebanggaan, atau nama baik keluarga.



Para wanita dituntut untuk bekerja !. Para Ibu Rumah Tangga gelisah atau malu jika putrinya yang sudah selesai kuliah belum bekerja. Orang tua berusaha bahkan dengan jalur kompas, melalui koneksi/relasi, atau nepotisme agar putrinya bekerja. Para Ibu ada yang enggan dan malu di dalam pertemuan keluarga atau tetangga jika ditanyakan tentang putrinya yang belum bekerja. Sebaliknya ada orang tua yang begitu bangganya, bahkan berulang-ulang menceritakan pekerjaan putrinya, apalagi jika bekerja di perusahaan/instansi besar dengan posisi dan fasilitas yang baik.



Apa yang ada dalam benak para orang tua dan para putrinya setelah mereka mendapat pekerjaan ?. Akhirnya ungkapan dari seorang Ibu di dalam percakapan dengan teman-temannya yang saya dengar di halaman gereja seusai ibadah minggu membuat saya tersadar.“Ah, nggak lah ya! Kasihan boruku kalau mau dikenalin sama anaknya Eda itu, S-1 kan dia, boruku S-2, bagus lagi kerjanya. Ganteng pun dia tapi sekarang ini nggak itu jaminan nya”. Hmmm, ternyata bagi orang tua tertentu status pekerjaan dan pendidikan putrinya menjadi ukuran pria mana yang sepantasnya bersanding atau berkeinginan melamar putrinya.



Kebetulan saya pernah mendengar seorang Ibu yang memberikan nasihat kepada putrinya yang masih kuliah, “Boruku setelah kuliah harus kerja lah ya ! Supaya nanti dapat suami yang hebat.” Bagi Ibu tersebut adalah semakin baik jenis dan posisi pekerjaan borunya, maka dia akan mendapat hela/mantu laki-laki yang mapan: baik pekerjaan dan status ekonominya. Ada Ibu yang mengeluh kecewa, karena borunya yang S-1 dan karyawan bank swasta akan menikah dengan pria yang bekerja di sebuah perusahaan swasta dengan pendidikan akhir D-3. Beliau merasa borunya salah pilih, hidupnya akan sulit dan merasa perbedaan tingkat pendidikan membuatnya malu dan tidak bersemangat dengan calon mantu laki-laki. Begitupun sebaliknya, seorang Ibu yang menentang rencana perkawinan anak laki-lakinya yang S-1 dan karyawan swasta dengan wanita yang pendidikan terakhirnya juga S-1 tapi tidak bekerja. Beliau mengatakan mereka akan menjadi pasangan yang tidak seimbang, dan juga menyesalkan pilihan putranya, karena di luar sana banyak keluarga yang menawarkan putrinya yang bekerja. Ahh, entahlah ! Tapi bagi saya mereka orang tua yang aneh !



Mengapa wanita (harus) Bekerja ? Tidak aneh lagi saat ini menemukan wanita/para Ibu Batak dengan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, pedagang asongan, kuli bangunan sampai knek angkutan umum. Jelas pekerjaan itu tidak memerlukan pendidikan di bangku kuliah, jangankan tamat SD, tidak sekolah pun mereka bisa menjadi kuli bangunan. Bagi mereka yang diharapkan dari bekerja hanyalah : cukup bisa makan hari ini. Jika mujur dan ada rejeki untuk menambah kebutuhan biaya sekolah, atau jika umur panjang dan ada keajaiban dapat meluluskan boru mereka sampai tingkat menengah atas. Setelah itu mereka akan berharap dapat mencari pekerjaan sendiri dengan bekal ijasah SMA, minimal karyawan atau kasir atau pramuniaga di toko atau supermarket. Mereka tidak punya target bahwa borunya kelak akan menikah dengan pria yang lebih baik pendidikan atau pekerjaan yang bergengsi. Ada yang mau menikah dengan borunya saja mereka sudah senang, “Asal ma burju tu borukon dohot, bertanggung jawab !”, kalimat itu juga pernah saya dengar dari kerabat yang pekerjaannya menjual pakaian di pasar.



Alasan apa yang mendorong wanita bekerja ? Mungkin jawaban anda ada di diantaranya : Malu dong, sudah sarjana kok nggak kerja. Tidak ingin menjadi beban dan tanggungan orangtua. Ingin membalas pengorbanan dan membahagiakan orang tua. Unjuk kemampuan diri sebagai wanita yang mandiri dan mapan, sekedar mencari status di era emansipasi, wanita modern, supaya bisa beli ini-itu, membeli semua yang dipakai wanita. Tidak mau kalah atau gengsi sama suami, nerima gaji terus, menjadi wanita sukses dalam karier, bekerja karena saya manusia yang memang harus bekerja untuk makan. “Hari gene di rumah ? Nggak lah yau !”. Supaya ada kesibukan, bosan dirumah karena belum ada anak, nggak biasa kerja di rumah jadi harus kerja supaya ada pergaulan dan wawasan, ingin punya uang sendiri, ngatur hidup sendiri. Membantu suami, ya sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, supaya dapat teman, dan tidak kuper, supaya ada harga diri dihadapan mertua dan keluarga suami, sehingga tidak diremehkan. Atau yang terakhir : supaya dapat jodoh di tempat kerja, dan banyak lagi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar